Pendekatan Implementasi Kebijakan Pendidikan
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Kebijakan merupakan rangkaian sebuah proses yang tidak hanya berhenti pada rumusannya saja. Kebijakan perlu diimplementasikan agar tercipta manfaat yang nyata. Kebijakan yang baik sekalipun hanya akan menjadi sia-sia, apabila tidak dapat diimplementasikan atau dengan kata lain kebijakan yang dapat diimplementasikan tanpa kendala yang berarti merupakan kebijakan yang baik.
Menurut Udoji (dalam Wahab, 2005, hlm. 59) “the execution of policies is an of import if non to a greater extent than of import that policies-making. Policies volition stay dreams or blueish prints file jackets unless they are implemented”. Artinya, pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Sedangkan menurut Brewer dan deLeon (dalam Sutjipto, 1987, hlm. 109) “implementasi kebijakan sebagai proses aktivitas sosial yang mengikuti dan distimulasi oleh mandat kebijakan yang dianut secara otoratif, artinya merupakan transmisi dari keadaan sosial politik dan ekonomi sebelum kebijakan dianut pada konfigurasi baru yang berbeda”. Implementasi kebijakan menurut Supandi dan Sanusi (1988, hlm. 36) adalah “suatu proses menjalaskan, menyelenggarakan, atau mengupayakan agar alternatif-alternatif yang telah diputuskan berdasarkan hukum yang berlaku dalam praktik”.
Berdasar sejumlah pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses penerapan kebijakan yang dilakukan oleh aktor-aktor pelaksana kebijakan yang akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Wahab (1997, hlm. 110) mengemukakan ada empat pendekatan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan, yaitu:
1. Pendekatan struktural (structural approach)
Pendekatan ini bersifat top-down yang dikenal dalam teori organisasi modern. Di dalam pendekatan struktural, kebijakan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Komando dan pengawasan sangat ditekankan dalam pendekatan ini dalam tiap tahap atau tingkatan dalam struktur masing-masing.
Struktur yang bersifat organisasi dianggap cocok dalam lingkungan/situasi yang penuh dengan ketidakpastian atau lingkungan yang sedang mengalami perubahan cepat. Pendekatan ini memiliki kelebihan, di antaranya mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan efektif. Kelemahan dari pendekatan ini adalah proses pelaksanaan implementasi kebijakan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien.
2. Pendekatan prosedural dan manajerial (procedural too managerial approach)
Di dalam pendekatan prosedural dan manajerial lebih menekankan pada upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur yang relevan, termasuk prosedur-prosedur manajerial berarti teknik-teknik manajemen yang tepat, sehingga penataan struktur-struktur birokrasi pelaksanaan tidak begitu ditekankan.
Terdapat tiga prosedur yang tepat dan memenuhi syarat dari segi biaya dan efektivitas di dalam mengidentifikasi masalah serta pemilihan kebijakan. Prosedur tersebut menurut Wahab (dalam Rohman, 2009, hlm. 142) meliputi:
a. Membuat desain programme beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya, dan waktu.
b. Melaksanakan programme kebijakan dengan cara mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana, dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang tepat.
c. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengawasan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan.
3. Pendekatan perilaku (behavioral approach)
Pendekatan perilaku menekankan pada perilaku manusia sebagai pelaksana implementasi kebijakan dan bukan pada organisasinya. Implementasi kebijakan dianggap baik bila di dalam prosesnya perilaku manusia beserta segala sikapnya menjadi pertimbangan dan dapat dipengaruhi. Beberapa kejadian sering terlihat di mana programme kebijakannya baik, peralatan, dan organisasi pelaksanaannya juga baik, namun di tengah jalan banyak terjadi penolakan-penolakan di masyarakat. Bahkan beberapa anggota pelaku pelaksanaannya merasa pasif dan sedikit acuh tak acuh. Hal ini menunjukkan bahwa aspek perilaku manusia sangat penting diperhatikan.
Terdapat dua penyebab terjadinya penolakan masyarakat terhadap perubahan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan, yaitu:
a. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan. Dengan hadirnya perubahan, kepastian yang selama ini sudah terbangun akan tersingkirkan dengan ketidakpastian. Masyarakat cenderung lebih banyak menyukai kemapaman meskipun di dalam kenyataannya kepastian tersebut tidak memberikan kenyamanan. Terlebih bagi masyarakat yang selama ini diuntungkan dengan kepastian yang telah berlangsung tersebut.
b. Kurangnya informasi tentang kebijakan yang diterima oleh masyarakat turut mempengaruhi penolakan terhadap implementasi kebijakan. Terutama bila informasi yang didapatkan masyarakat masih setengah-setengah dan bersifat pernyataan sehingga memungkinkan terjadinya misinformasi atau misinterpretasi.
4. Pendekatan politik (political approach)
Di dalam proses implementasi kebijakan dengan pendekatan politik, dimungkinkan digunakannya paksaan dari kelompok dominan. Proses implementasi kebijakan tidak bisa hanya dilakukan dengan komunikasi interpersonal sebagaimana disyaratkan oleh pendekatan perilaku, bila masalah konflik dalam organisasi tadi bersifat endemik. Hadirnya kelompok dominan dalam organisasi akan sangat membantu. Kelompok yang dominan di dalam kondisi tertentu mau melakukan pemaksaan, tentu hal ini akan sangat diperlukan. Apabila tidak ada kelompok dominan, mungkin implementasi kebijakan akan berjalan secara lambat dan bersifat inkremental.
Referensi
Supandi, & Sanusi, A. (1988). Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan. Jakarta: LPTK.
Sutjipto (1987). Analisis Kebijaksanaan Pendidikan: Suatu Pengantar. Padang: IKIP Padang.
Wahab, S. A. (2005). Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Impelementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber https://www.tintapendidikanindonesia.com/
Post a Comment
Post a Comment