-->

√ Vereenigde Oostindische Compagnie (Voc)


Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

lfVZNaVsGcKQRwgLcIiiiPgJGiEruwCLcBGAsYHQ √  Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Hindia Timur didirikan pada tanggal xx Maret 1602 merupakan perusahaan Belanda yang memiliki hak monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham. Meskipun VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya, VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain.
VOC terdiri atas enam bagian, yakni di Amsterdam, Middelburg, Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Di Republic of Indonesia sendiri VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata Compagnie berdasar pada nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda.
Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapi masalah ini, Staaten Generaal di Belanda memberi wewenang pada VOC untuk memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda, yang waktu itu masih berbentuk Republik untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara.
Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara. Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal xx Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah Timur Tanjung Harapan  dan sebelah Barat Selat Magelhaens, serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri.
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya negara untuk:
a. Memiliki angkatan perang.
b. Memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian.
c. Merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda.
d. Memerintah daerah-daerah yang diduduki.
e. Menetapkan/mengeluarkan mata uang sendiri.
f. Memungut pajak.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605-1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621-1623).
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai footing administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol dan Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian Timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang, dan tempat tinggal orang Belanda, serta bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika January Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618–1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tidak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi vii meter yang mengelilingi surface area yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari footing benteng ini pada xxx Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton, serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula January Pieterszoon Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.
Para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi keuntungan bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621. Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari xiii kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80-100 pedagang Jepang, beberapa di antaranya adalah pendekar samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia. Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.
Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda.
Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris. Dengan demikian, Belanda berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, di samping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan secara materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.
Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal Republic of Republic of India Belanda dari tahun 1737-1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.
Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke India-Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan. Namun, banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang Eropa dan Pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin, dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan, dan bahkan melakukan pemberontakan. Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.
Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia.
Pada ix Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun, yang terjadi dalam iii hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai.
Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Borneo Barat.
Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jenderal untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743–1750), yang adalah orang Jerman.
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang VOC. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya, beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi, dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan pada tahun 1799.
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda, yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indie) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797-1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800-1801).






Sumber https://www.tintapendidikanindonesia.com/

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter