Empat Pilar Pendidikan UNESCO
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Pada upaya peningkatan kualitas suatu bangsa dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga United Nations, Educational, Scientific, in addition to Cultural Organization (UNESCO) yang bergerak di bidang pendidikan, pengetahuan, dan budaya mencanangkan empat pilar pendidikan, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to alive together.
Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan membangun pola pikir pendidikan di suatu bangsa. Adapun empat pilar tersebut lebih lanjut dijabarkan sebagai berikut:
1. Learning to know
Pilar ini memiliki arti bahwa para peserta didik dianjurkan untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melalui pengalaman-pengalaman. Hal ini akan memicu munculnya sikap kritis dan semangat belajar peserta didik meningkat. Learning to know mengajarkan tentang arti pentingnya sebuah pengetahuan, karena di dalam learning to know terdapat learning to learn, artinya peserta didik belajar untuk memahami apa yang ada di sekitarnya, karena itu merupakan proses belajar.
Learning to know juga mengajarkan tentang live long of education atau yang disebut dengan belajar sepanjang hayat. Arti pendidikan sepanjang hayat (long life education) adalah bahwa pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya.
2. Learning to do
Pilar ini menekankan pentingnya interaksi dan bertindak. Para peserta didik diajak untuk ikut serta dalam memecahkan permasalahan yang ada di sekitarnya melalui sebuah tindakan nyata. Belajar untuk menerapkan ilmu yang didapat, bekerja sama dalam sebuah tim guna untuk memecahkan masalah dalam berbagai situasi dan kondisi.
Learning to produce berkaitan dengan kemampuan hard science dan soft skill. Kedua skill ini sangat penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan, karena sesungguhnya pendidikan merupakan bagian terpenting dari proses penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, tangguh, dan terampil serta siap untuk mengikuti tuntutan zaman.
Hard science merupakan kemampuan yang harus menuntut fisik, artinya hard science memfokuskan kepada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan kemampuan peserta didik. Penguasaan kemampuan hard science dapat dilakukan dengan menerapkan apa yang dia dapat atau apa yang telah dipelajarinya di kehidupan sehari-hari, misalnya anak di sekolah belajar tentang arti penting sikap disiplin, maka untuk memahami dan mengerti tentang disiplin tersebut, anak harus belajar untuk melakukan sikap disiplin, baik di rumah, di sekolah, atau di mana pun. Dengan begitu anak paham tentang pentingnya sikap disiplin.
Adapun soft skill, artinya keterampilan yang menuntut intelektual. Soft science merupakan istilah yang mengacu pada ciri-ciri kepribadian, kemampuan sosial, kemampuan bahasa, dan pengoptimalan derajat seseorang. Untuk itu, kemampuan soft science adalah kepribadian dari masing-masing individu. Soft science tidak diajarkan, tetapi guru yang harus menjadi teladan. Dengan memberikan contoh tersebut, anak akan mencoba untuk menirukan apa yang dilihat. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kemampuan soft skill.
3. Learning to be
Pilar ini berarti bahwa pentingnya mendidik dan melatih peserta didik agar menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan apa yang peserta didik impikan serta dicita-citakan.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri dapat diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
Learning to live on sangat erat kaidahnya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan anak, dan kondisi lingkungannya. Misalnya bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya, bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai fasilitator bertugas sebagai penunjuk arah sekaligus menjadi mediator bagi peserta didik. Hal ini sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri peserta didik secara utuh dan maksimal. Selain itu, pendidikan juga harus bermuara pada bagaimana peserta didik menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang berperikemanusiaan.
4. Learning to alive together
Pilir ini berarti menanamkan kesadaran kepada para peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari kelompok masyarakat. Jadi, mereka harus mampu hidup bersama.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi, dan menerima perlu dikembangkan di sekolah. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, sebagai hasil dari proses pembelajaran, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya.
Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to alive together). Untuk itu, pembelajaran di lembaga formal dan not formal harus diarahkan pada peningkatan kualitas serta kemampuan intelektual, profesional, dan sikap, dalam hal ini adalah kemampuan hard skill dan soft skill.
Sumber https://www.tintapendidikanindonesia.com/
Post a Comment
Post a Comment